Yuk Bahu Membahu Lawan Kekerasan Gender pada Anak!
Baru-baru ini ada webinar tentang kekerasan dengan topik yang cukup menarik perhatianku yaitu “Anti Kekerasan Berbasis Gender” diselenggarakan oleh Peka Kemdikbud RI. Hmmmm…. kekerasan satu kata yang membuat bulu romaku berdiri. Kenapa? Karena kekerasan yang didapat oleh seseorang memiliki dampak yang luar biasa. Seseorang yang mendapatkan kekerasan akan mengalami trauma baik psikologi dan fisiknya. Mungkin bekas luka fisik akan hilang seiring berjalannya waktu, tetapi luka psikologi akan terus membekas hingga akhir hayat.
Ayo Lawan Kekerasan Gender pada Anak |
Lalu apa itu kekerasan berbasis gender?
Selama menyimak paparan webinar “Anti Kekerasan Berbasis Gender” yang disampaikan oleh Mariah Ulfah Anshor dan Gisella Tani Pratiwi, penulis menyimpulkan bahwa kekerasan berbasis gender banyak dialami oleh anak dan perempuan. Dan kekerasan itu didapat dari lingkungan terdekat seperti rumah, sekolah, tempat kerja, dan tempat umum.
Data yang disampaikan oleh Gisella Tani Pratiwi selaku Psikolog Yayasan Pulih dalam paparannya di webinar menunjukkan bahwa anak rentan menjadi korban kekerasan yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, korban perdagangan, dan menjadi korban penelantaran.
Kenapa anak rentan menjadi korban kekerasan gender?
1. Pola pikir sederhana
Anak masih memiliki pemikiran yang sederhana. Para pelaku memanfaatkan pola pikir tersebut untuk mengiming-imingi anak agar mau melakukan hal yang mereka inginkan.
2. Dianggap Milik
Anak kerap menjadi korban kekerasan dikarenakan mereka dianggap milik dan harus melakukan apa yang diperintahkan oleh pelaku.
3. Ketimpangan Gender
Anak-anak yang berkembang pada lingkungan atau dunia yang patriatis akan mengalami perbedaan perkembangan karena ketimpangan yang mereka dapat sedari kecil. Anak perempuan kurang mengembangkan potensinya akibat ketimpangan yang mereka alami.
4. Sikap Permisif dan Kurang Memahami KTA
Selain pola pikir yang masih sederhana dan polos, anak belum dibekali pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dan intim lainnya. Bahkan, dalam lingkungan keluarga masih kerap kita jumpai orang tua yang hanya memakaikan pakaian dalam saja. Karena kebiasaan tersebutlah yang membuat anak tidak begitu mementingkan aurat mereka saat di depan orang lain. Hal tersebut memicu para predator anak untuk melakukan kekerasan seksual.
Lalu apa upaya kita melawan kekerasan berbasis gender pada anak?
1. Menghargai anak
Sejak masih kecil mari hargai anak sebagai manusia seutuhnya yang memiliki hak dan kewajiban. Jika kita orang tua mampu menghargai tiap apa yang dilakukan oleh anak, anak tidak akan merasa menjadi pribadi yang tersisihkan.
2. Terbuka pada anak
Orang tua dapat menjadi teman bagi anak. Caranya adalah dengan membiasakan bertanya apa yang mereka alami ditiap harinya. Seperti apa kegiatan di sekolah hari ini? Ada yang menarik atau tidak? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat anak merasa diperhatikan.
3. Bekali anak dengan edukasi
Bekali anak dengan edukasi . Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika ada orang lain? Edukasi tentang pentingnya menjaga tubuh agar tidak memancing para predator anak. Selain itu perlu adanya edukasi media sosial. Karena media sosial sekarang seperti boomerang bagi kehidupan kita. Ada dampak positif dan negatifnya.
Orang tua menjadi pengawas dan pengontrol. Anak dibawah umur baiknya tidak secara langsung diijinkan bermedsos. Sedangkan bagi anak remaja, orang tua harus mendekati mereka. Memberikan informasi dan batasan-batasan bermedsos agar kekerasan berbasis gender tidak mereka alami saat bermedsos.